- Krisis sektor properti di Tiongkok terus berlanjut, dan hal ini—ditambah efek disrupsi dari masa pandemi—menjadi pukulan telak bagi penerimaan dan belanja rumah tangga Tiongkok. Otoritas Tiongkok cukup enggan melakukan penyelamatan perusahaan (bailout) ataupun memberikan bantuan sosial, sehingga pemulihan permintaan akan sangat tergantung pada kenaikan di sisi produksi.
- Meski stimulus Tiongkok terkesan lambat jika dilihat dari sisi suku bunga dan ekspansi fiskal, bank sentral Tiongkok (PBoC) sejatinya tengah melakukan stimulus masif semacam QE (quantitative easing). Berbeda dengan QE di Barat yang hanya berputar di sistem finansial, QE di Tiongkok agaknya berdampak langsung terhadap penyaluran kredit dari perbankan ke sektor riil.
- Aliran kredit yang masif ke sektor manufaktur Tiongkok saat ini dikondisikan oleh tiga hal: (1) upaya mencegah kontraksi moneter dan siklus deflasi utang yang bisa berujung pada resesi, (2) minat bank yang rendah untuk menyalurkan kredit ke sektor properti dan jasa, dan (3) pertimbangan strategis otoritas Tiongkok di tengah persaingan dengan Barat.
- Dukungan finansial ini sukses menaikkan porsi Tiongkok dalam industri teknologi tinggi global, khususnya kendaraan listrik (EV) dan energi terbarukan. Tanpa pertumbuhan masif di dua sektor ini, PDB Tiongkok di tahun 2023 hanya akan tumbuh 3-4%. Di sisi lain, untuk sektor padat karya dan manufaktur berteknologi rendah/sedang, aliran kredit tadi jadi semacam “subsidi” untuk menutupi kerugian industri akibat harga jual yang terus turun.
- Ekspansi moneter di Tiongkok justru jadi pendorong disinflasi global, karena mendukung peningkatan produksi industri jauh melebihi pertumbuhan permintaan domestiknya. Strategi pemulihan yang berbasis produksi ini hanya akan sukses di jangka panjang apabila didukung oleh permintaan dan likuiditas global yang kuat juga—artinya, prospek pemulihan Tiongkok masih rentan terhadap kebijakan yang dilakukan oleh rivalnya, AS.