- Pasca gelombang Delta pertengahan 2021, ekonomi Indonesia menunjukkan pemulihan cepat, didorong oleh permintaan yang tertunda, pemulihan mobilitas masyarakat, dan boom di sektor komoditas.
- Momentum ini dapat berlanjut di 2022, sehingga mendorong pemulihan yang lebih luas (bukan "K-shaped recovery") dan peningkatan investasi dunia usaha, berkat kondisi keuangan korporasi nasional yang secara umum masih cukup baik.
- Boom komoditas melonggarkan tradeoff antara pertumbuhan PDB dan pelemahan kurs Rupiah, tapi tidak sepenuhnya. Prospek kenaikan suku bunga Fed dan normalisasi (parsial) harga komoditas berarti bahwa pertumbuhan di atas 5.4% masih bisa menimbulkan risiko depresiasi, sehingga BI mengetatkan kebijakan moneter lebih cepat.
- Inflasi berpotensi meningkat seiring pemulihan permintaan masyarakat dan pertumbuhan kredit. Harga energi jadi factor ketidakpastian utama, karena selama ini dipatok rendah dibandingkan global. Walau resiko fiscal dari subsidi energi saat ini minim, beban pada BUMN berarti harga energi masih mungkin disesuaikan bila harga energi global tetap tinggi untuk 6-12 bulan mendatang.
- Pertumbuhan pendapatan pemerintah yang cukup kuat, pajak maupun non-pajak, bisa mempersempit defisit fiskal lebih cepat dari ekspetasi. Ini bisa mengurangi financing gap pemerintah, suatu hal yang penting di tengah kurangnya permintaan akan surat utang negara dari bank dan pihak asing.
- Kinerja makro Indonesia di jangka pendek boleh jadi yang terbaik di negara emerging, tapi prospek jangka panjang masing dibayangi ketidakpastian tentang reformasi struktural. Pertumbuhan upah yang selama ini lebih cepat dari produktivitasi bisa mengurangi daya saing Indonesia dalam rekonfigurasi rantai pasok global kedepannya.
- Pasca gelombang Delta pertengahan 2021, ekonomi Indonesia menunjukkan pemulihan cepat, didorong oleh permintaan yang tertunda, pemulihan mobilitas masyarakat, dan boom di sektor komoditas.
- Momentum ini dapat berlanjut di 2022, sehingga mendorong pemulihan yang lebih luas (bukan "K-shaped recovery") dan peningkatan investasi dunia usaha, berkat kondisi keuangan korporasi nasional yang secara umum masih cukup baik.
- Boom komoditas melonggarkan tradeoff antara pertumbuhan PDB dan pelemahan kurs Rupiah, tapi tidak sepenuhnya. Prospek kenaikan suku bunga Fed dan normalisasi (parsial) harga komoditas berarti bahwa pertumbuhan di atas 5.4% masih bisa menimbulkan risiko depresiasi, sehingga BI mengetatkan kebijakan moneter lebih cepat.
- Inflasi berpotensi meningkat seiring pemulihan permintaan masyarakat dan pertumbuhan kredit. Harga energi jadi factor ketidakpastian utama, karena selama ini dipatok rendah dibandingkan global. Walau resiko fiscal dari subsidi energi saat ini minim, beban pada BUMN berarti harga energi masih mungkin disesuaikan bila harga energi global tetap tinggi untuk 6-12 bulan mendatang.
- Pertumbuhan pendapatan pemerintah yang cukup kuat, pajak maupun non-pajak, bisa mempersempit defisit fiskal lebih cepat dari ekspetasi. Ini bisa mengurangi financing gap pemerintah, suatu hal yang penting di tengah kurangnya permintaan akan surat utang negara dari bank dan pihak asing.
- Kinerja makro Indonesia di jangka pendek boleh jadi yang terbaik di negara emerging, tapi prospek jangka panjang masing dibayangi ketidakpastian tentang reformasi struktural. Pertumbuhan upah yang selama ini lebih cepat dari produktivitasi bisa mengurangi daya saing Indonesia dalam rekonfigurasi rantai pasok global kedepannya.