31 Des 2024 | News & Feature

Outlook Ekonomi Indonesia 2025: Gelas setengah kosong, atau setengah penuh?

  • Akar paradoks ekonomi Indonesia saat ini adalah perubahan struktural pada industri manufaktur. Industri padat modal yang berbasis komoditas — sejalan program “hilirisasi” — berkembang pesat, sementara manufaktur barang jadi yang padat karya mengalami tekanan.
  • Hilirisasi berhasil meningkatkan ekspor tetapi juga meningkatkan dependensi Indonesia pada fluktuasi harga komoditas dan permintaan Tiongkok. Kondisi ini meningkatkan risiko di 2025 seiring penguatan USD, deflasi Tiongkok, serta eskalasi pasar dagang.
  • PHK di sektor manufaktur formal telah menekan daya beli kelas menengah ke bawah dan juga penerimaan UMKM. Segmen lain — perusahaan besar, sektor pertanian, pekerja kantoran, dan kelas menengah ke atas — relatif kurang terdampak, tapi jadi lebih berhati-hati dan mengurangi belanja.
  • Pengeluaran pemerintah berpengaruh besar terhadap siklus bisnis akhir-akhir ini, dan Big Data BCA menunjukkan pertumbuhan yang lebih moderat pasca-Pemilu di Februari 2024. Mayoritas indikator memberi sinyal pertumbuhan nominal dan perputaran uang yang masih cukup lambat ke depannya, kecuali pemerintah baru dapat merealisasikan program belanja mereka dengan segera.
  • Kebijakan fiskal yang ekspansif, kebutuhan CAPEX dari industri padat modal, serta pengetatan likuiditas global berujung pada perebutan likuiditas yang mengorbankan likuiditas sektor swasta lainnya (termasuk rumah tangga). Fenomena ini diperparah oleh tingkat suku bunga riil yang tinggi seiring upaya kuat BI mempertahankan Rupiah. Pada akhirnya, kebijakan moneter yang lebih pragmatis mungkin diperlukan untuk menjaga momentum belanja di tengah kelanjutan tekanan global.