- Kelebihan simpanan dari masa pandemi bantu dorong pemulihan konsumsi setahun terakhir, sejalan dengan penurunan tingkat tabungan masyarakat.
- Laporan ini memperkenalkan visualisasi “quick flow of funds” (Q-FoF), yang akan sering kami gunakan ke depannya untuk membahas data perbankan dan mengaitkannya dengan kondisi makro di berbagai domain – perdagangan, investasi, serta kebijakan fiskal dan moneter.
- Kami mengestimasi neraca bank sektoral (NSBB) dari jumlah simpanan suatu sektor dikurangi pembiayaan yang diperoleh dari bank lewat kredit ataupun obligasi. Neraca bank agregat (NBB) adalah total dari NSBB untuk semua sektor domestik.
- NBB mengalami penurunan berulang selama satu dekade terakhir, diselingi beberapa periode yang lebih stabil. Penurunan ini berasosiasi kuat dengan pelemahan Rupiah dan defisit neraca transaksi berjalan, dan jadi indikasi bahwa Indonesia tumbuh lebih cepat dari kapasitasnya.
- Showcase Q-FoF kami untuk kurun waktu 2011-19 menghasilkan beberapa insight yang tidak selalu sejalan dengan narasi umum tentang periode tersebut:
- Krisis Rupiah (“taper tantrum”) tahun 2013 bukan semata dipicu oleh konsumsi berlebihan, tapi juga oleh ekspansi sektor bisnis yang terlampau agresif di sektor konsumen, di saat daya beli mulai melemah seiring penurunan harga komoditas.
- Kenaikan harga BBM dan suku bunga tak cukup untuk menekan defisit neraca berjalan di tahun 2013 – butuh kontraksi fiskal di tahun 2014 untuk mewujudkannya.
- Amnesti pajak dan revaluasi aset di tahun 2016-17 tak hanya pemanis, tapi merupakan kunci bagi kesuksesan Jokowinomics setelah fase awal yang mengandalkan fiskal kurang efektif.
- Boom ekonomi yang mengiringi Jokowinomics melemah di medio-2019 meski BUMN tetap ekspansif, dikarenakan efek lagging dari respon BI terhadap “perang dagang” di medio-2018 memaksa sektor swasta menjaga likuiditasnya.